Langsung ke konten utama

You vs Me

 


My name is Zhela. Umm, aku anak ketiga dari 3 bersaudara. Dengan kata lain, aku anak bungsu. Aku punya 2 kakak laki-laki. Kakak tertua ku namanya Dave, dia sekarang udah kerja di perusahaan yang cukup bonafit di Jakarta sebagai Sales Manager.

Nah, kalo kakak ku yang kedua, namanya Kaza. Dia sih masih SMA, tepatnya kelas 3. Selain sekolah, dia juga part time sepulang sekolah di sebuah cafe di Jakarta sebagai penyanyi cafe.

Kalo aku, aku sekarang kelas 2 SMA dan satu sekolah sama Kak Kaza. Aku sih sebenarnya pengen kerja juga kayak mereka, tapi biasa alasan kuno.

"Loe tuh cewek, di luar itu banyak cowok-cowok brengsek. Entar kalo loe kenapa-kenapa, siapa yang repot? Kita juga kan?"

Itulah yang selalu mereka katakan kepadaku.

Soal kedua orang tua kami, mereka udah gak ada sejak aku masih SMP. Jadi, aku cuma tinggal bertiga dengan kedua kakak ku. Dan yang biayain hidup kami sehari-hari, ya Kak Dave. Jujur, aku sayang banget sama dia. Dia itu kakak kebanggaan aku.

Udah ganteng, cool, super duper baik, bijak, dan dia itu disiplin banget. Semenjak Papa Mama gak ada, dia berhasil jadi ortu buat aku dan Kak Za. Aku sayang banget sama dia.

Kalo kak Kaza dia itu jail, nyebelin, rese, ngeselin, pokoknya musuh aku banget deh. Tapi dia juga baik sih. Soal ganteng atau gak, kata temen-temen aku dia ganteng, tapi kalo menurut aku biasa aja.

Aku sama dia bener-bener gak klop banget deh, berantem mulu tiap hari. Tapi, kalo salah satu lagi galau, salah satu akan berubah menjadi malaikat.

Nah, itu dia sekilas kisah keluarga aku.

#

"Hoaaam!!!" aku mengangkat kedua tangan ku ke udara dan mengucek-ngucek mata ku yang masih mengantuk.

"Zhela! Cepet bangun, loe mau sekolah atau gak?" suara Kak Za dari depan kamar mengagetkan ku.

"Iya bawel!" teriak ku dari dalam kamar.

"Cepet! Gue tinggal entar loe." kata Kak Za sekali lagi sambil setengah berteriak dan mengancamku.

"Iya, iya" kata ku menyerah.

Derap langkah kaki Kak Za terdengar menjauh dari kamar ku. Aku pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

#

Aku menuruni tangga dan mendapati kedua kakak ku di meja makan. 

"Zhe, besok loe harus bangun lebih pagi dari hari ini" kata Kak Dave memperingatkan ku.

"Iya kak" jawab ku singkat.

"Alah, paling besok sama aja. Loe? Bangun pagi? Gak mungkin." ejek Kak Za.

"Gue bakal buktiin kok, besok gue bangun pagi, kalo perlu sebelum ayam berkokok. Lihat aja !" ucap ku kesal.

"Sebelum ayam berkokok? Ngapain loe? Mau ngasih makan ayam?" ejek Kak Za sambil menertawakan ku.

Aku menatap tajam pada Kak Za

"Gak lucu!" ucap ku ketus.

Kak Dave menunduk menutupi senyum nya mendengar pertengkaran kami. Kak Za menghentikan tawanya seketika. Aku pun melanjutkan menyantap sarapan ku.

"Yaelah Zhe, gue becanda kali. Pake ngambek lagi loe." kata Kak Za membujukku.

"Bodo!" jawab ku ketus.

"Udah, cepat habiskan sarapan kalian, gue berangkat duluan" ucap Kak Dave.

Kak Dave bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri aku, kemudian mencium kening ku.

"Sudah lah, dia hanya bercanda, jangan diambil hati" bisik Kak Dave kepada ku.

Kak Dave kemudian menghampiri Kak Za dan menepuk pundaknya,

"Jaga adek loe" ucap kak Dave padanya.

"Beres" jawab Kak Za.

Kak Dave pun bergegas berangkat kerja. Sedangkan aku dan Kak Za, setelah selesai sarapan, kami bergegas berangkat ke sekolah.

#

Sampai di sekolah, aku masih mempertahankan ekspresi muka ku yang cemberut. Kak Za pun menegur ku.

"Sampe kapan loe mau cemberut gitu? Jelek! Entar cowok loe siapa itu namanya?" kata Kak Za mencoba mengingat namanya.

"Aldik" jawab ku mengingatkan.

"Ah iya, Aldik. Entar dia minta putus lagi kalo muka loe kayak gini." ejek Kak Za.

"Basi! Cowok gue kan gak di sini." ucapku membalas ejekan Kak Za.

Aku pun segera beranjak meninggalkan Kak Za menuju kelas.

Sesampainya di kelas, aku bertemu dengan teman sebangku sekaligus sahabat ku, Richita. Dia terlihat sibuk dengan novelnya. Saat aku duduk di sampingnya, dia menjulurkan sebatang coklat padaku. Aku pun langsung mengambilnya.

"Wah, thanks Chi! Tau aja loe kalo gue lagi pengen coklat." ucap ku girang.

"Dari Diky" ucap Richita.

"What?" ucap ku setengah berteriak, aku pun langsung melemparkan coklat itu ke atas meja.

"Kok loe ambil sih Chi? Loe kan tau kalo gue gak suka sama dia. Lagian tuh orang, udah dibilang gue gak suka juga sama dia, gue kan udah punya cowok." ucap ku mendumel.

"Dia maksa gue Zhe, gue gak bisa nolak" kata Richita beralasan.

"Heh, puyeng gue. Ah sudah lah, bodo amat sama si Diky. Oh ya Chi, tau gak? Entar pulang sekolah gue mau jalan sama Aldik." kata ku.

"Wow, makin langgeng aja loe sama dia" puji Richita.

"Iya dong, pastinya" ucap ku bangga.

"Eh Zhe, gue denger-denger hubungan kakak loe sama Kak Gendis lagi ada masalah ya?" tanya Richita.

"Ah, namanya juga orang pacaran Chi, biasa kali" kata ku santai, tak mau ambil pusing.

"Tapi katanya sampe mau putus tau" kata Richita mulai serius.

"Yang bener loe?" kata ku mulai terpancing.

"Yah, gue juga tau dari omongan orang sih" kata Richita.

"Hmm, padahal kan mereka pasangan romantis, katanya. Tapi jujur ya Chi, gue juga kurang suka sama Kak Gendis, kurang sreg aja gitu. Tapi, ya sudah lah, itu kan urusan mereka." kata ku tak mau ikut campur dengan masalah percintaan Kak Za.

Tiba-tiba guru datang dan pelajaran pun dimulai.

#

Aku dan Richita sedang makan di kantin. Di samping meja kami, Kak Za dan teman-temannya juga sedang makan. Aku gak sengaja mendengar perbincangan mereka.

"Za, adek loe makin lama makin cantik aja" ucap salah satu teman Kak Za.

"Kenapa? Loe suka sama adek gue? Telat. Dia udah punya cowok kali." kata Kak Za.

"Serius loe? Yah, putus harapan gue." ucap mereka serentak.

"Jadi? Kalian semua suka sama adek gue?" tanya Kak Za.

Mereka semua menjawab pertanyaan Kak Za dengan cengar-cengir.

"Emang cowok nya anak mana Za?" tanya salah satu dari mereka.

"SMK Cempaka" jawab Kak Za.

"Apa?" ucap mereka serempak.

"Woi! Biasa aja kali." jawab Kak Za.

"Gila Za, itukan sekolah paling bonafit" ucap salah satu dari mereka.

Tiba-tiba Kak Gendis datang menghampiri Kak Za dan mengajaknya pergi.

"Zhe, kayaknya bakal ada yang gak beres" kata Richita.

"Hmm, maybe" kata ku mengiyakan.

#

Aku lagi asik nonton TV di ruang keluarga, tiba-tiba Kak Za datang dan duduk di samping ku.

"Loe kenapa?" tanya ku pada Kak Za.

"Bisa gak, loe panggil gue dengan sebutan Kak?" tanya Kak Za balik.

"Gue gak biasa" jawab ku asal.

"Terserah loe deh" kata Kak Za menyerah.

"Loe kenapa sih?" tanya ku sekali lagi.

"Gue putus sama Gendis" jawab Kak Za.

"Yaelah putus doang, cewek banyak kali" kata ku sambil menempelkan bantal di kepalanya.

"Sialan loe!" kata Kak Za sambil membalas ku dengan melemparkan bantal yang ku lempar padanya.

"Eh, loe gak kerja?" tanya ku heran, karena baru teringat jam segini dia masih di rumah.

"Gue lagi cuti galau" jawab Kak Za.

"Haha. Emang ada cuti galau? Gila loe!" ejek ku padanya.

"Ada lah. Yang kerja siapa?" tanya Kak Za.

"Loe" jawabku.

"Yang ngomong siapa?" tanya Kak Za lagi.

"Loe" jawabku lagi.

"Ya udah, gitu aja susah" kata Kak Za santai.

"Eh Za, emang loe putus kenapa?" tanya ku penasaran.

"Udahlah, males gue bahas itu" jawab Kak Za.

"It's okay. Mau pacaran lagi gak?" tanya ku memancing Kak Za.

"Siapa?" tanya Kak Za antusias.

"Kakak sepupunya Aldik, mau?" tanya ku.

"Wah, mantep tuh" kata Kak Za dengan wajah sumringah.

"Ok, entar gue bilang Aldik" ucapku.

"Eh, tumben cowok loe gak ke sini?" tanya Kak Za.

"Kenapa? Kangen loe sama cowo gue? Tadi siang kan gue baru jalan sama dia." jawab ku.

"Owh" kata Kak Za.

Aku dan Kak Za melanjutkan menonton TV berdua hingga kami sama-sama ngantuk dan masuk kamar masing-masing.

#

Akhirnya, Kak Za dan Kak Livia (sepupu Aldik) jadian, dan aku pastinya masih sama Aldik dong.

Aku lagi di dapur membantu Bi Inah masak dan tiba-tiba,

"Aww!" aku mendadak berteriak karena jari ku tak sengata teriris pisau.

Kebetulan Aldik sedang di rumah, dia mendengar jeritan ku dan segera ke dapur. Kemudian, dia memasukkan jari ku ke dalam mulutnya. Dia menghisap darah yang keluar dari jari ku dengan mulutnya.

"Gimana? Masih sakit?" tanya nya khawatir.

Aku tersenyum memandang wajahnya,

"Gue gak papa kok" jawab ku.

"Apa perlu kita ke dokter?" tanya Aldik.

"Ya ampun Dik, ini cuma luka kecil. Gue gak papa kok." ucap ku menenangkannya.

"Loe yakin?" tanya Aldik sekali lagi.

"Iya. Thanks." ucap ku padanya.

"Apa pun gue lakuin demi jagain loe" kata Aldik sungguh-sungguh.

Aku tersenyum memandangnya dan kemudian dia memeluk ku.

Ya Tuhan, nikmat yang mana lagi yang bisa aku ingkari darimu? Kakak-kakak yang baik, kekasih yang sempurna.

#

Hari Minggu pagi, aku, Kak Za, dan Kak Dave ngumpul di ruang keluarga. Kak Za memulai pembicaraan.

"Zhe, jalan yok ntar siang, kemana kek gitu!" ajak Kak Za.

"Sorry, gue mau jalan sama Aldik" jawab ku santai.

"Ah loe, sekali-sekali loe jalan sama gue kenapa?" protes Kak Za.

"Ih ogah, loe kan punya pacar, kenapa gak ajak dia aja sih? Pake maksa gue segala." kata ku protes balik.

"Dia lagi gak bisa" kata Kak Za dengan nada sedih.

"Uuh kacian, mau jalan bareng sama gue dan Aldik?" tanya ku.

"Ah ogah, entar gue jadi obat nyamuk lagi" kata Kak Za.

"Ya udah" ucap ku.

Pembicaraan kami pun terhenti, Kak Dave masih sibuk menonton TV. Tiba-tiba, Kak Metha, tunangan Kak Dave, datang bawa kue ke rumah. Kami pun memakan kue tersebut dan berbincang-bincang dengan nya.

#

Di sekolah, pas lagi jam pelajaran, ada isu kalo hari ini akan ada razia mendadak. Aku sih nyantai aja. Tapi, tiba- tiba Richita menyenggol lengan ku.

"Zhe, liat tuh! Kak Kaza mau dibawa kemana sama guru-guru?" tanya Richita.

Aku segera menatap keluar, terlihat Kak Za dibawa oleh tiga orang guru. Ada apa dengan Kak Za? Aku pun minta ijin untuk keluar kelas kepada guru.

Aku bergegas mengejar guru-guru yang membawa Kak Za.

"Pak, tunggu!" panggil ku.

Mereka pun menghentikan langkahnya.

"Sebenarnya ini ada apa ya?" aku bertanya pada guru-guru tersebut.

"Kami menemukan sebilah pisau di tas Kaza" jawab salah satu guru tersebut menjelaskan kejadian sebenarnya.

"Apa? Tapi itu gak mungkin, kakak saya gak pernah bawa benda tajam ke sekolah. Ini pasti ada yang memfitnah kakak saya. Bapak-bapak gak bisa menghukum kakak saya gitu aja tanpa bukti yang kuat." ucap ku mencoba protes dan membela Kak Za.

"Dengan ditemukan nya pisau tersebut di dalam tas nya, itu sudah merupakan bukti yang kuat yang menunjukkan kalo itu milik dia. Kami harus membawanya ke ruang kepala sekolah, permisi." kata salah satu guru tersebut dan mereka pun membawa Kak Za ke ruang kepala sekolah.

Aku pun mengikuti mereka dan berdiri tepat di depan ruangan kepala sekolah tersebut.

#

Kak Za kemudian keluar dari ruangan kepala sekolah dengan wajah muram, aku pun menghampirinya.

"Kak, apa yang kepala sekolah bilang?" tanya ku.

"Gue gak bisa ikut UN" jawab Kak Za dengan nada sedih dan putus asa.

"Apa?" ucap ku shock mendengarnya.

Aku kemudian langsung masuk ke ruang kepala sekolah.

"Pak, pisau itu bukan milik kakak saya Pak. Bapak gak bisa dong hukum kakak saya gitu aja, dia gak bersalah." ucapku protes dengan keputusan yang diambil oleh kepala sekolah.

"Kamu punya bukti kalo pisau tersebut bukan miliknya?" tanya Pak Kepala Sekolah yang membuatku terdiam sejenak.

"Saya emang gak punya bukti pak, tapi bapak seharusnya menyelidikinya dulu, bapak gak bisa dong kayak gini" ucapku masih tidak bisa terima dengan keputusan tersebut.

"Sudah lah, pisau itu ada di dalam tas nya, berarti itu miliknya, maaf saya tidak ada waktu untuk menyelidikinya, saya bukan polisi" kata Pak Kepala Sekolah dengan acuhnya.

"Apa tidak ada hukuman lain pak? Ini menyangkut masa depan kakak saya pak. Coba bapak memakai nurani bapak sedikit saja. Apa bapak tega menghancurkan masa depan anak didik bapak? Apa bapak gak malu, kalo sekolah yang selalu meluluskan anak didiknya 100% harus berkurang untuk tahun ini?" tanyaku mencoba untuk bernegosiasi.

"Ini sudah menjadi keputusan saya dan tidak bisa diganggu gugat, sebaiknya sekarang kamu keluar" suruh Kepala Sekolah mengusir ku secara halus.

"Bapak keterlaluan!" ucap ku setengah berteriak.

Aku pun keluar ruangan tersebut dan menemui Kak Za. Dia terdiam dengan wajah tanpa ekspresi apa pun. Aku tau, pasti sekarang perasaannya hancur banget. Aku pun segera menelpon Aldik.

"Iya Zhe, ada apa?" tanya Aldik di seberang sana.

"Loe bisa gak ke sekolah gue sekarang?" tanya ku padanya.

"Emang ada apa? Loe sakit ?" tanya Aldik cemas.

"Bukan gue, tapi Kaza, dia sedang terkena musibah. Loe bisa kan ke sekolah gue sekarang? Please." pintaku pada Aldik.

"Iya, loe tenang aja, bentar lagi gue ke sana" kata Aldik.

"Thanks Dik" ucapku.

"Iya" kata Aldik.

Aku pun memutuskan sambungan telpon dan menghampiri Kak Za yang sedang termenung. Aku memeluknya erat, tak ada satu kata pun yang ia keluarkan bahkan untuk membalas pelukan ku pun dia tak bergerak. Kemudian, Aldik datang,

"Zhe, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aldik cemas.

"Gue gak bisa jelasin sekarang Dik, gue minta tolong ya sama loe, tolong anter Kaza ke rumah. Please." pinta ku pada Aldik.

"Iya Zhe, loe tenang aja" kata Aldik tanpa banyak protes.

Aku dan Aldik kemudian membawa Kak Za ke dalam mobil Aldik.

"Thanks ya Dik. Gue titip kakak gue." ucap ku.

"Iya. Loe entar mau gue jemput?" tanya Aldik menawarkan.

"Gak usah, gue pake motor Kaza aja" kata ku.

"Owh, ok, loe hati-hati entar bawa motornya" kata Aldik mengingatkan.

"Iya, loe juga hati-hati ya" ucapku padanya.

Aldik pun pergi mengantar Kak Za ke rumah, sedangkan aku kembali ke kelas. Sampai di kelas, bel istirahat berbunyi, aku masuk dan meminta maaf karena tidak masuk pada jam pelajaran kepada guru yang mengajar.

Beruntung guru tersebut memakluminya. Aku pun segera melangkah ke tempat duduk ku. Richita langsung menyerbu ku dengan berbagai pertanyaan.

"Aduh Zhe, loe kemana aja sih? Terus tadi Kak Kaza kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Richita.

"Guru-guru itu menemukan sebilah pisau di tas Kaza, dan kepala sekolah memberi dia sanksi gak boleh mengikuti UN" jawabku.

"Astaghfirullah hal'azim! Terus Kak Kaza gimana?" tanya Richita shock.

"Dia shock berat, gue minta Aldik mengantarnya pulang. Tapi gue yakin pasti ada yang jebak Kaza." ucap ku menerka-nerka.

"Kak Gendis" kata Richita.

"Kok loe bisa yakin dia yang lakuin?" tanya ku.

"Coba loe flashback, Kak Gendis itu gak suka kakak loe pacaran sama Kak Livia. Terus, tiba-tiba ada pisau di tas Kak Kaza. Lalu, Pak Kepsek gak ngebolehin UN tanpa menyelidiki atau memberi dispensasi sedikit pun. Dia kan bapaknya Kak Gendis." kata Richita menjelaskan analisanya.

"Loe bener, dasar cewek iblis!" ucap ku kesal.

"Kasian Kak Kaza" kata Richita dengan nada prihatin.

"Gue juga pusing Chi, dia seperti orang gak punya semangat hidup" ucap ku.

"Loe harus sabar dan lebih kuat biar bisa balikin semangat dia lagi" kata Richita mencoba menyemangatiku.

"Iya Chi, gue pasti berusaha untuk itu" ucapku padanya.

#

Sesampainya di rumah, aku melihat mobil Aldik dan langsung bergegas masuk. Aldik sedang duduk di ruang tamu, aku pun menghampirinya.

"Gimana keadaan Kaza?" tanya ku cemas pada Aldik.

"Sebenernya apa sih yang terjadi?" tanya Aldik penasaran.

"Tadi pas razia, guru nemuin pisau di tas Kaza, lalu Kepsek ngasih hukuman kalo dia gak bisa UN" kata ku menceritakan yang terjadi pada Aldik.

"Apa?" kata Aldik terlihat shock.

"Gue bingung Dik, gue bingung" keluh ku pada Aldik.

Aldik pun kemudian memeluk ku,

"Udah, semua pasti akan baik-baik aja, tadi Kak Za baru aja tidur kata Bi Inah" kata Aldik menenangkan ku.

"Dik, loe temenin gue di sini ya, gue takut ada apa-apa dengan Kaza" pinta ku padanya.

"Iya, gue akan terus nemenin loe di sini" kata Aldik.

Aku masih berada di dalam pelukan Aldik untuk menenangkan diri.

#

Aku kemudian mencoba untuk berbicara dengan Kak Za dan menyuapinya makan bersama Aldik disamping ku. Tapi Kak Za hanya terdiam membisu di hadapan ku, tangis ku pun pecah dan langsung memeluknya.

"Kak, gue tau ini menyakitkan buat loe, begitu juga buat gue dan Kak Dave. Tapi loe jangan kayak gini, loe harus bangkit, tunjukin kalo loe gak bersalah, jangan seperti ini Kak, gue mohon." ucap ku menangis dipelukannya.

Aku merasa ada tetesan air mata di pundak ku, aku pun mempererat pelukan ku padanya dan membelai punggungnya.

"Loe harus kuat ya Kak, semua ini pasti akan baik-baik aja." kata ku memberikan semangat pada Kak Za.

Aku kemudian melepaskan pelukan ku dan menatap wajahnya. Aku menyeka air mata Kak Za dengan kedua tangan ku. Seketika tangis ku kembali pecah dan Aldik pun memeluk ku. Aku bener-bener gak kuat melihat Kak Za seperti ini. Kak Dave, aku butuh kakak.

Aku membujuk Kak Za untuk makan, tapi dia tidak sedikit pun membuka mulutnya. Air mata ku kembali mengalir. Aldik merangkul ku dan menyeka air mata yang membasahi pipi ku. Tiba-tiba kak Livia datang, aku terkejut melihatnya.

"Gue yang memintanya datang ke sini" kata Aldik.

Kak Livia melangkah lemas melihat keadaan Kak Za. Dia langsung memeluknya dan seketika tangisnya pun pecah. Kak Livia terlihat begitu rapuh, tangannya benar-benar erat memeluk Kak Za. Saat dia mulai tenang, aku memintanya untuk membujuk Kak Za makan. Dan, alhamdulillah Kak Za mau membuka mulutnya.

Sampai malam tiba, Aldik masih nemenin aku di rumah. Kak Livia berada di dalam kamar Kak Za, berusaha untuk memberinya semangat.

Kemudian, Kak Dave datang, aku berlari memeluknya. Kak Dave bingung dengan tingkah ku, tangis ku kembali pecah dalam pelukan nya. Dia kemudian membelai rambut ku.

"Hey, loe kenapa Dek? Coba cerita sama Kakak, ada apa?" tanya Kak Dave lembut.

"Kak, Za, Kaza kak" ucap ku sambil menangis sesegukan.

"Iya, Kaza kenapa?" tanya Kak Dave.

Aku gak sanggup untuk mengatakan nya, aku hanya bisa menangis dipelukkannya.

"Udah, sekarang, Zhela tenangin diri dulu" kata Kak Dave membelai rambut ku dengan lembut.

Saat Kak Dave merasa aku mulai tenang, ia melepaskan ku dari pelukan nya dan menghapus air mata ku. Kak Dave pun menatap ku seolah minta penjelasan.

"Saat razia di sekolah, guru menemukan pisau dalam tas Kaza dan Kepsek menghukum nya gak boleh ikut UN. Sekarang Kaza seperti orang frustasi kak. Zhela gak tau harus berbuat apa." kata ku mencoba menjelaskan dan kemudian menangis lagi.

"Iya, iya, sekarang Kaza dimana?" tanya Kak Dave dengan nada tenang.

"Di kamarnya" jawabku.

Kak Dave kemudian berjalan menuju kamar Kak Za. Aku dan Aldik pun mengikutinya.

Saat memasuki kamar Kak Za, Kak Dave langsung menghampiri Kak Za, dia memanggil-manggil nama Kak Za. Tetapi, Kak Za tetap diam tanpa ekspresi apa pun.

Kak Dave kemudian mengeluarkan ponsel nya dan menghubungi seseorang. Saat telpon tersambung, dia beranjak keluar dari kamar Kak Za. Sesaat kemudian, dia masuk kembali.

"Zhe, coba loe minta Bi Inah bikin bubur dan teh hangat, kalo udah jadi bilang anter ke sini" pinta Kak Dave kepada ku.

"Iya Kak" ucap ku.

Aku pun bergegas menemui Bi Inah di dapur dan menyampaikan pesan Kak Dave. Bi Inah mengiyakan dan aku segera kembali ke kamar Kak Za.

Saat langkah ku mendekati kamar Kak Za, terlihat Kak Dave, Kak Livia, dan juga Aldik berada di luar kamar Kaza.

"Kok pada di luar?" tanya ku heran.

"Kak Za lagi diperiksa sama Kak Metha" jawab Aldik.

Owh, jadi yang ditelpon Kak Dave tadi Kak Metha. Oh iya, aku baru inget, Kak Metha kan psikolog. Aku pun turut berdiri di depan kamar Kak Za seperti yang lain.

#

Kak Metha keluar dari kamar Kak Za.

"Gimana?" tanya Kak Dave padanya.

"Sebaiknya kita bicarakan di bawah saja, dan biarkan Kaza istirahat" kata Kak Metha.

Kami semua melangkah menuju ruang tamu.

Semua duduk di ruang tamu dan menanti penjelasan dari Kak Metha. Dia mulai membuka suaranya,

"Kaza mengalami depresi yang cukup berat, dia seperti kehilangan arah dan semangat hidup. Begitu banyak beban pikiran dibenaknya dan juga ketakutan yang luar biasa darinya." kata Kak Mitha menjelaskan.

Semua terlihat shock, Kak Livia meneteskan air matanya. Aku mencoba tegar untuk kali ini.

"Jadi, apa yang harus kami lakukan? Dan sampai kapan Kaza akan seperti itu Kak?" tanya ku pada kak Mitha.

"Yang harus kalian lakukan adalah memberi dia semangat hidup dan jangan membicarakan tentang masalah yang dihadapinya. Gue juga gak tau sampai kapan Kaza akan seperti itu. Berdoalah kepada Allah, karena kita semua adalah miliknya. Oh ya, tadi Kaza mau makan?" tanya Kak Metha.

"Udah kok kak, tadi Kak Livia yang nyuapin dia" jawab ku.

"Tapi cuma 5 suap, selebihnya dia gak mau membuka mulutnya" kak Livia menambahkan.

"Itu gak masalah, yang penting dia mau makan. Itu udah bagus. Selalu suport dia, ceritakan hal-hal yang bisa membuat semangat hidupnya kembali. Jangan perlihatkan wajah sedih di depan nya!" kata Kak Metha menjelaskan.

"Iya kak, kami akan berusaha melakukan semua itu" jawab ku dengan optimis.

Semua mengangguk mengiyakan kata-kata ku. Setelah pembicaraan selesai, kami semua makan malam.

#

Pagi-pagi, aku langsung menuju kamar Kak Za, ternyata di sana udah ada Kak Dave. Dia mengurus Kak Za layaknya anak umur 5 tahun, memandikan nya dan memakaikan nya baju.

Kemudian, Bi Inah datang membawa semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Aku pun mengambilnya dan membawa masuk ke dalam kamar Kak Za. Kak Dave meminta ku untuk menyuapinya makan. Aku mengangguk dan segera duduk di samping Kak Za. Kak Dave kemudian keluar dari kamar Kak Za. Sambil nyuapin Kak Za, aku ngoceh di depan nya.

"Eh Kaza, loe tau gak kemaren club bola kesayangan loe menang 4-0. Sumpah, loe rugi banget tadi malem gak nonton. Dan yang penting nih ya, gue udah berhasil jawab tantangan loe. Buktinya, sekarang gue bangun lebih pagi kan? Jadi, tuduhan loe itu salah besar ke gue. Kaza, loe gak bosen apa diem mulu? Tapi gak papa sih, lumayan gak ada yang ngejekin gue. Besok gue mau ke pantai tau gak sama Aldik, sebenernya sih gue mau ngajak loe. Tapi entar loe malah ganggu gue sama Aldik. Makanya, loe udah dong ngambeknya, Kak Livia mau ngajakin loe ngedate tau. Eh Kaza, loe tuh jelek banget tau kayak gitu, kayak ikan mas koki, haha. Udah abis nih, gue keluar dulu ya, bye." ucap ku berusaha ceria sambil menahan tangis, kemudian, aku keluar dari kamar Kaza dan segera menuju dapur.

Di dapur, aku menangis sesegukan, Bi Inah kemudian menegur ku.

"Sabar Non" kata Bi Inah sambil membelai punggung ku.

"Tapi Zhela bener-bener gak sanggup Bi, lihat Kaza seperti itu" ucap ku sambil berurai air mata.

"Iya Non, Bibi ngerti, Bibi juga sedih melihat Den Kaza seperti itu" ucap Bi Inah prihatin.

Aku kemudian menghapus air mata ku dan permisi pada Bi Inah untuk siap-siap pergi sekolah. Aku pun bergegas ke kamar ku.

#

Aku sarapan bersama Kak Dave, ya hanya dengan Kak Dave. Seketika memori otak ku mengingat satu hal saat aku melihat kursi Kak Za yang kosong,

"Hey Zhelangkung! Loe itu kapan sih bisa bangun pagi? Kesiangan mulu! Abis mampir di rumah siapa aja loe tadi malem?" ejek Kaza.

"Enak aja loe ngatain gue jelangkung, sembarangan! Kalo gue jelangkung, loe dedemit!" ucapku membalas ejekannya.

"Mana ada dedemit ganteng kayak gue" ucap Kaza menyombongkan diri.

Aku tersentak dan air mata ku mengalir. Ya Allah, kapan semua ini berakhir? Zhela kangen Kaza yang dulu. Kak Dave kemudian memeluk ku.

"Sabar, semua ini pasti akan berakhir" kata Kak Dave menenangkan.

Aku terus menangis dipelukannya.

#

Aldik datang menjemput ku dengan mobilnya. Aku pun masuk. Dia menatap wajah ku dengan saksama.

"Loe abis nangis?" tanya Aldik.

"Gue gak papa kok, mendingan loe jalanin mobilnya. Entar kita telat." pintaku.

"Loe yakin?" tanya Aldik memastikan.

Aku mengangguk. Punggung tangannya kemudian menempel di kening ku.

"Badan loe anget, loe yakin mau sekolah?" tanya Aldik.

"Iya, kalo gue di rumah, gue akan lebih sakit melihat keadaan Kaza kayak gitu" jawab ku meyakinkan Aldik.

"Baiklah" kata Aldik menyerah.

Aldik kemudian mengantar ku sampai ke dalam kelas, meskipun aku sempat menolaknya. Tapi, dia khawatir dengan kondisi ku saat ini. Semua orang memandangi kami, entahlah, apa yang ada dalam benak mereka.

Di dalam kelas, aku disambut oleh Richita. Aldik pun pamit dan meminta Richita untuk jagain aku. Richita menanyakan kondisi Kak Za padaku, aku pun menceritakan kondisi Kak Za yang sebenarnya pada Richita. Dia begitu sedih mendengar cerita ku tentang Kak Za dan turut mendoakan kesembuhan Kak Za.

#

Saat istirahat, Richita mengajak ku ke kantin dan aku pun gak tega untuk menolaknya. Di kantin, aku bertemu dengan teman-teman Kak Za. Mereka langsung menanyakan Kak Za kepadaku.

Aku pun menjelaskan kondisi Kak Za pada mereka, mereka prihatin dan ijin untuk menjenguk Kak Za pulang sekolah nanti. Aku dengan senang hati mengijinkan mereka. Seseorang dari mereka tiba-tiba mengatakan satu hal yang gak aku duga.

"Zhe, sebenarnya ini semua perbuatan Gendis, dia gak terima Kaza pacaran dengan Livia. Dia gak suka melihat Kaza bahagia bersama Livia. Tapi kami gak bisa berbuat apa-apa. Loe tau kan, bapaknya siapa? Jadi, gak ada gunanya kami melaporkannya, bapaknya pasti akan melindunginya." kata salah satu dari mereka.

"Gue ngerti kok, tapi gue gak peduli apa yang telah dia lakukan pada Kaza, sekarang yang paling penting adalah kesembuhan Kaza" kata ku.

"Loe tenang aja, kami semua pasti bantu loe buat nyembuhin Kaza" kata salah satu dari mereka.

"Thanks" ucap ku.

#

Sebulan kemudian.

Kak Za masih tetap diam membisu, semua cara sudah kami lakukan untuk membangkitkan semangatnya. Tapi tetap saja gak ada hasil, rasanya aku udah putus asa. Terlebih lagi Kak Livia, dia seperti kehabisan akal untuk membuat Kak Za sembuh.

Saat aku mau masuk ke kamar Kak Za, aku melihat Kak Livia mengangkat tangan kanan nya di depan wajah Kaza dan tangan kirinya memegang silet.

"Za, kalo loe tetep kayak gini, mendingan gue mati Za!" kata Kak Livia mengancam Kak Za.

Dia kemudian mendekatkan silet tersebut dengan urat nadinya. Sepertinya dia akan memotongnya, aku menutup wajah dengan kedua tangan ku. Aku gak sanggup melihatnya.

Suasana terdengar hening, aku memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi. Aku shock melihat Kak Za memegang kedua tangan Kak Livia hingga silet yang dipegangnya terjatuh. Kak Livia menangis dan kemudian memeluk Kak Za.

"Bodoh! Buat apa loe lakuin itu?" ucap Kak Za.

"Loe yang bodoh! Kenapa loe berperilaku seperti orang depresi, bodoh!" kata Kak Livia membalas ucapan Kak Za.

Aku terharu melihat semua itu dan gak kuasa membendung air mata ku lagi. Seketika tangis ku pecah dan aku berlari memeluk Kak Za.

Kemudian, Aldik, Kak Metha, dan Kak Dave serta Bi Inah berlari menuju kamar Kak Za setelah mendengar tangisan ku. Mereka semua kaget melihat Kak Za telah kembali seperti dulu. Semuanya meneteskan air mata harunya.

#

Kami semua berbincang ria di meja makan, kami semua mengejek Kak Za saat dia dalam keadaan depresi. Kak Za terlihat kesal, namun dia tetap ikut tertawa. Aku dan Kak Dave mengancam nya untuk tidak seperti itu lagi, atau kami akan mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Kak Za langsung ketakutan dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Kak Za akhirnya mau kembali ke sekolah dan dia telah diijinkan untuk mengikuti UN oleh Kepsek baru. Pasti bingung Kepsek lama kemana? Dia ketauan korupsi dan sekarang mendekap di penjara, sedangkan Gendis bunuh diri karna malu diejek anak koruptor.

#

Sekarang, Kak Za lagi giat belajar bersama Kak Livia untuk mempersiapkan UN. Sesekali aku menggodanya,

"Cie yang lagi rajin, yakin lulus gak loe?" ejekku.

"Oh, gue pasti lulus" katanya sombong.

"Nilai pas-pas an" ejekku.

"Sembarangan! Liat aja nanti pas kelulusan. Beraninya ngejek gue, kayak nilai loe entar bagus aja." kata Kak Za mengejek ku balik.

"Eh, sorry ya, gue siswi teladan bro" ucap ku ikut membanggakan diri.

"Songong loe! Liat aja nanti!" tantang Kak Za.

"Ok, you vs me" kata ku.

Aku seneng Kak Za kembali kayak dulu, rasanya kesempurnaan hidup ku kembali bersinar. Makasih ya Allah, nikmat-Mu begitu nyata.

END


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CURAHAN HATI SEORANG ADIK

Teruntuk padamu kakak ku Usia memang terlampau jauh membuat jarak diantara kita Aku memang tidak terlalu mengerti bagaimana kau berjuang dalam hidupmu Yang aku tau kau sibuk dengan dunia mu sendiri Aku memang terlalu kecil saat itu untuk mengerti kehidupanmu Yang aku tau, aku hanya memiliki seorang kakak  Namun tak selalu berada disisiku Ternyata bukan hanya usia yang jauh tapi juga jarak membuat kita jauh Kakak, taukah kau Aku selalu iri melihat orang lain memiliki seorang kakak yang sangat perhatian Yang selalu melindungi adiknya Yang selalu ada kapan pun adiknya membutuhkannya Kakak, aku tidak pernah menyalahkan dirimu Mungkin hanya karena keadaan yang membuatmu seperti ini Kakak, jika kau berkenan mendengarkan permintaan dari adikmu ini Bukan harta ataupun benda yang aku pinta Aku hanya meminta sedikit perhatianmu kak pada adikmu ini Hanya sedikit Bukankah seorang kakak memang begitu hakikatnya kan kak Bisa melindungi dan memperhatikan adiknya

9 Tahap Iblis Menghasut Remaja dan Anak Kecil untuk Bundir

  Foto: Remaja sedang depresi/Pexels Pernahkan kamu merasa bahwa kasus kejahatan maupun bundir akhir-akhir ini makin meningkat? Jika iya, maka kamu wajib banget baca artikel ini sampai selesai! Jadi, menurut investigasi salah satu pelaku supranatural, Adam Lucius, ketika menginterogasi sesosok iblis yang sering melakukan penghasutan terhadap anak kecil maupun remaja untuk bundir, ada 9 tahapan yang mereka lakukan. Mari simak kesembilan tahapan tersebut, agar kamu dapat sadar dan menyadarkan orang-orang di sekitarmu! Sebelum menyimak kesembilan tahapan iblis menghasut anak kecil dan remaja untuk bundir, saya selaku penulis hendak disclaimer terlebih dahulu, bahwa artikel ini bersumber dari proses interogasi Adam Lucius terhadap satu entitas iblis. Yang percaya silahkan, yang tidak percaya juga tidak apa-apa. Intinya, yang baik silahkan diambil, yang tidak baik silahkan diabaikan saja. Tahap Pertama Ilustrasi remaja suka keluar malam hari | Sumber: Pexels Jadi, tahap pertama yang akan ib

Aku Bukanlah Untukmu

  Aku sedang senyum-senyum sendiri di kamar, sambil memegang sebuah pena di tangan. Yes, right .  Nih pena tadi di kasih sama someone special . Sebenarnya sih gak terlalu spesial banget, tapi orangnya manis sih. Gak bosen buat dilihat lama-lama. Cerita asal muasal nih pena sampai ke tangan aku, gini nih ceritanya. Jadi, tadi siang pas pelajaran Biologi ada kuis dadakan gitu. Terus tiba-tiba pena ku mendadak macet. Ngeselin gak tuh? Udah deh, aku kebingungan mau nulis soal. Tanya si Asha, percuma aja. Pena aja dia sering pinjem sama aku. Ya udah, alhasil aku celingukan nyari target yang bisa minjemin aku pena. Dan tiba-tiba aja, “Sya, nih!” suara Aza memanggil ku dari belakang sambil memberikan sebuah pena kepadaku. Aku menatapnya dengan heran. “Udah ambil, cepet!” pinta Aza. Aku pun langsung mengambil pena tersebut dan berkata, “Thanks” Aza hanya tersenyum sambil mengangguk. Hmm, mungkin itu kenangan sederhana yang tidak akan pernah aku lupakan nantinya. # “Hi Sya! Boleh aku duduk di s